Pepatah
“lebih besar pasak daripada tiang” berlaku di Negara ini. Perilaku konsumtif di
Negara Indonesia sebenarnya bukan hanya di usia remaja namun juga di
usia tua, hal ini di karena kan telah diterapkannya dari dulu bahwa Indonesia
akan menjadi negara konsumtif bukan produktif atau produsen. Hal ini akan
menjadi masalah ketika kecenderungan yang dianggap wajar pada
masyarakat ini dilakukan secara berlebihan dan terus menerus.
Bicara
gaya hidup bicara masyarakat Indonesia, bicara mengenai kebiasaan masyarakatnya,
kebiasaan terbentuk karena adanya rutinitas dan kesenangan yang dilakukan
berkali-kali sehingga menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Lihatlah di
sekeliling kita, Gadget, Dompet, Jam tangan, bahkan baju yang kita pakai, kebanyakan
berasal dari negara lain. Budaya konsumtif di Indonesia telah lama diterapkan
masyarakat jauh sebelum zaman reformasi, pada masa orde baru terbentuklah
masyarakat konsumtif yang membeli barang yang sudah jadi daripada menciptakan
atau membuat sesuatu menjadi barang jadi.
Apa
hal yang kita lakukan setiap hari? Jawabannya adalah membeli atau belanja,
ini adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam perekonomian, baik di
dunia usaha maupun di dalam rumah tangga baik membeli jasa maupun barang.
Setiap hari kita selalu membeli barang ataupun jasa yang sadar atau tanpa sadar
sebenarnya kita bisa membuatnya sendiri hanya jikalau kita berkenan meluangkan
sedikit waktu kita untuk belajar membuatnya.
Perilaku
konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup masyarakat Indonesia.
Bahkan hal ini dalam perkembangannya, juga sangat di setujui oleh
kebijakan dari pemerintah pemerintah. Dan bahkan pejabat pemerintahan
maupun wakil rakyat menggunakan cara instan seperti korupsi hanya untuk
memuaskan kebiasaannya yang konsumtif ini dan menerapkan kebijakannya pada pola
yang konsumtif juga, tidak mau kalah dengan para tikus berdasi, masyarakat
menengah kebawah justru karena pola hidup seperti ini juga, tak jarang
masyarakat kita mau mencuri, menodong bahkan sampai membunuh. Pada akhirnya
perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak
psikologis, sosial bahkan etika.
Walaupun
pola hidup konsumtif tidak semuanya berdampak negatif ada pula dampak positifnya.
Namun, terlalu banyak dampak negative yang sudah membudaya di masyarakat kita
yang nantinya membahayakan masyarakat kita sendiri. Kita ambil salah satu
contoh dari dampak negative dari pola hidup konsumtif yaitu pemborosan atau
boros. Dalam islam boros identik dengan hawa nafsu, dan orang-orang yang
mingikuti hawa nafsu itu disebut hizbuz syetan (tentara setan) dimana di
jelaskan dalam QS al Isra’ ayat 26-27 yang artinya “Dan janganlah kamu
menghambur hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah
saudara setan”. Maka sudah seharusnya budaya seperti ini dirubah, apakah kita
ingin disebut sebagai saudara setan? Tentu saja tidak. Soulisinya mari kita
cari bersama. Ini PR kita semua, baik masyarakat maupun pemerintah. Agar pola
hidup seperti ini tidak lagi membudaya di negri kita sehingga negri ini menjadi
negri yang “baldatun toibatun warabun gafur.
Kebijakan
ekonomi pemerintah dengan menjadikan masyarakat kelas menengah sebagai
ujung tombak ekonomi Indonesia dari terjangan krisis
global juga dapat menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional yang
dimulai dengan ledakan kecil di tengah masyarakat kelas bawah. Ini dampak dari
budaya konsumtif Indonesia menjadikan masyarakat kelas menengah sebagai tombak
perekonomian bukanlah pilihan terbaik yang dapat dilakukan. Merubah kebiasaan
bangsa ini dari konsumen menjadi produsen adalah pilihan terbaik untuk
bangkitnya Indonesia. Sebab ciri masyarakat yang konsumtif adalah ciri dari
masyarakat di Negara-negara berkembang. Berbeda halnya dengan masyarakat di
Negara maju, justru masyarakat di Negara-negara tersebut lebih senang untuk
menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai jual yang tinggi, mereka tidak merasa
gengsi dengan menghasilkan produk dibandingkan mengkonsumsinya. Itu adalah ciri
pola pemikiran masyarakat di Negara-negara maju.
Saat
ini budaya konsumtif bukan hanya menjalar pada masyarakat menengah ke
atas, namun juga pada kalangan masyarakat menengah ke bawah. Karena indutri
telah mendesain produk biasa atau mengimitasi dari produk-produk yang bermerk.
Misalnya, pada HP Samsung yang diketahui merupakan HP canggih dengan fitur
lengkap dan harga tinggi, kini telah beredar banyak imitasi serupa HP
Samsung yang didesain oleh pengusaha dari China dengan harga yang miring
dari harga HP Samsung dengan tipe yang sama yang dibuat oleh Produsen China.
Dan luar biasa, meski tiruan, penjualan produk tersebut sangat laris di
pasaran, bahkan produk-produ seperti itu
yang lebih banyak laris di pasaran.
Hal
diatas membuktikan bahwa masyarakat kita sangat gengsi untuk tidak mengikuti
trend yang ada, mereka beragumen bahwa mereka harus menjadi bagian dalam trend
sepeti itu. Pola pikir yang seperti ini lah yang harus segera kita ubah, apakah
kita ingin terus menjadi Negara yang berkembang? Padahal kita adalah bangsa
yang besar dengan sejuta potensi yang ada didalamnya, baik potensi yang
dimiliki oleh masyarakatnya maupun potensi dari alam yang ada di negeri ini.
Bahkan
budaya ini bukan hanya menjamur pada masyarakat saja namun juga menjadi habit
atau kebiasaan pada negara Indonesia sendiri, dimana kita lebih suka membeli
(import) daripada menjual (export), barang yang kita jual bahkan terkadang
lebih murah daripada yang kita beli lagi produk jadinya. Seperti halnya beras, Indonesia
dengan negara terbaik untuk hidup memiliki tanah subur padi yang baik hujan
yang turun, dan bibit yang kuat namun masih harus membeli berasnya dari negara
lain. Bahkan bukan hanya beras namun susu, sapi, dan lain sebagainya. Mirislah
diri seharusnya jika kita melihat ini semua ibarat jika dirumah kita memiliki
HP namun kita berlari ke wartel (warung telepon) hanya untuk menelpon.
Fenomena-fenomena
di atas tidak bisa lepas dari kehidupan di kota. Karena semakin tinggi
pendapatan seseoran maka semakin meningkat kebutuhannya, kebutuhan yang semakin meningkat ini akan membuat produk yang
ditawarkan dipasar menjadi meningkat pula. Sebagai konsumen yang baik, ukurlah
suatu produk berdasarkan nilai kebutuhan, kegunaan, dan estetikanya. Jangan
hanya membeli karena keinginan yang bersifat semua dan gaya hidup semata.
Wabah
budaya konsumtif sangat mencemaskan. Bukan karena ia terkait dengan persoalan
etika dan rapuhnya karakter anak bangsa. Hal yang berbahaya adalah ketergantungan
pada barang-barang impor yang niscaya akan mematikan pasar produk lokal.
Taruhannya adalah daya tahan perekonomian nasional. Pemerintah harus
menunjukkan kecintaanya terhadap produk dalam negeri, jika pemerintahnya
memberikan contoh yang baik rakyatpun akan mulai berfikir untuk meneladaninya.
Budaya konsumtif jadi bentuk undangan terbuka bagi kapitalisme global untuk
leluasa menyetir pola pikir, gaya hidup, selera, bahkan ideologi kelas menengah
kita sesuai dengan nilai yang melekat pada barang yang mereka hasilkan. Melihat
ancaman besar seperti itu, tampaknya harus dicari jurus jitu untuk meredam
penyebaran budaya konsumtif tadi. Jika tidak, kita harus rela menerima
kenyataan jadi bangsa yang kehilangan jati diri.
Jadi
tunggu apa lagi? Mulailah dari diri kita sendiri untuk mencintai produk dalam
negeri dan membeli jika butuh bukan membeli karena ingin atau berdasarkan emosi
pribadi saja. Jadilah masyarakat yang cerdas yang dapat membuat Indonesia
bangkit bukan Indonesia yang terpuruk, Indonesia yang produktif bukan Indonesia
yang hanya konsumtif. Jadilah negara produsen, ubah kebiasaan gaya hidup ini
sebagai momentum kebangkitan nasional, Negara Indonesia adalah negara yang kuat
bukan negara konsumen. Mari dukung Indonesia bantu melawan budaya konsumtif dan
jadikan Indonesia sebagai Negara maju bukan Negara berkembang lagi.
Sumber:
No comments:
Post a Comment